Cerpen

Karena Meraka, Para Sahabat !

Daniel enggan meninggalkan musim liburan. Dia tidak ingin bangun terlalu pagi dan menyiapkan keperluannya untuk belajar di sekolah serta sarapan dengan kedua adiknya yang selalu membuatnya kesal. 
“Hari pertama sekolah! ” seru ibunya.
“Lekas bangun dan bersiap-siap. ”
Daniel semakin masuk kedalam selimutnya.
“Daniel? Kau dengar tidak? ”
“Ugh ”
Halaman SMP 1 Negeri itu sangat ramai oleh banyaknya siswa baru yang ingin mengetahui kelas mereka masing-masing. Rimbunnya dedaunan meneduhi sebagian halaman yang terhampar luas di depan sekolah.
“Hi! Kamu haus?” Daniel, salah satu murid yang telah menunggu pembagian kelas menoleh, menatap satu dari tiga remaja yang tengah berjuang melawan teriknya matahari.
Remaja kurus berambut cepak itu hanya menatap Daniel sekilas. Lalu dia mengangkat bahu. “Iya nih, panas sekali. Aku haus.”
“Aku bawa air minum. Tapi cuma 1 botol. Kamu mau berbagi air denganku?”, Daniel menawarkan.
“Boleh. Aku juga bawa roti. Kita bagi dua ya ?”, jawab remaja kurus itu.
Tanpa disengaja, dua remaja lain yang berdiri di dekatnya ternyata mendengarkan pembicaraan mereka. Keduanya pun ikut nimbrung. “Aku bawa permen nih, dibagi aja”, kata cowok yang berbadan agak gemuk.
Remaja yang terakhir buka suara, sekaligus memecahkan masalah. “Wah, pusing deh. Berbagi air, makanan. Aku punya uang nih. Mendingan kita sama-sama ke kantin aja, biar aku yang bayar.” Semua setuju dengan usulannya dan mulai berkenalan satu sama lain.
“Hi! Kita satu kelas lo! Kenalkan nama ku Daniel”
“Aku Deren”, kata cowok yang berbadan kurus.
“Namamu bagus dan aku Dani.”, cowok yang berbadan gemuk mulai berbicara.
“Aku Doni”, sahut cowok di sebelah Dani.
“Sebentar, nama kita sama-sama berawalan huruf D lo!”, Daniel berkata. Sementara itu semuanya tertawa dan semakin keras ketika mereka menyadari bahwa tanggal ulang tahun mereka sangat berdekatan. Daniel tanggal 15 Agustus, Deren di tanggal 17 Agustus, serta Doni dan Dani pada tanggal 16 Agustus.
“Bagaimana jika kita merayakan ulang tahun kita di tanggal 17 Agustus? Sekalian di rayakan orang se Indonesia dan juga menghemat uang”, Doni yang sedari tadi diam mulai membuka suara.
Setelah lama berteman, persahabatan pun mulai terbangun diantara mereka berempat. Mereka dikenal sebagai sahabat yang tak bisa terpisah. Kemana pun mereka pergi, pasti berempat dan dimanapun mereka berada, suasana disekitarnya pun juga menjadi ramai dan tidak membosankan.
Tahun berlalu begitu singkat sampai-sampai mereka tidak menyadari cepatnya waktu membawa mereka naik ke kelas 3 SMP. Awal pertemuan yang tidak di sengaja itu telah menjadi sejarah persahabatan mereka berempat. Berbagai masalah bisa mereka atasi bersama. Sahabat senantiasa punya waktu untuk mendengarkan masalah-masalah kita dan memberikan nasihat terbaiknya. Seperti halnya mereka, ketika Daniel mengalami masalah, kekompakan mereka terbukti dengan terpecahnya masalah tersebut.
Tak terasa hari kelulusan pun tiba. Keberhasilan mereka menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama merupakan awal dari persahabatan yang semakin kuat. Tak terpungkiri lagi jika kelulusan SMA pun mereka lalui bersama. Ya, mereka bersekolah di SMA yang sama dan juga mengalami yang namanya perpisahan sebenarnya. Tidak seperti di SMP dan SMA, kali ini mereka akan mengambil jurusan yang berbeda-beda dan berjuang untuk meraih mimpi mereka masing-masing.
“Aku mau kita bertemu kembali disaat ulang tahun kita yang ke 40. Aku ingin mengetahui apakah cita-cita ku dan kalian akan tercapai. Hahaha”, Daniel membuka suara serta memancing tawa sahabat-sahabatnya.
“Pasti mimpi mu menjadi seorang entrepreneurship akan tercapai. Kau memang seorang pekerja keras”, Deren meyakinkannya.
“Dan mimpimu menjasi seorang seniman terkenal akan tercapai. Aku yakin.”, balas Daniel.
“Aku juga berharap mimpiku menjadi seorang dosen terkabul dan juga mimpi Doni menjadi sutradara terkenal menjadi kenyataan.”, kata Dani tak mau kalah.
Perpisahan pun benar benar terjadi. Mereka berpisah dan berharap pertemuan mereka pada tanggal 17 Agustus beberapa puluh tahun lagi akan terlaksana. Seorang sahabat akan selalu menepati janji, bicara jujur, meluangkan waktu untuknya, dan bisa tertawa bersamamu. Semoga saja itu yang terjadi pada persahabatan empat sekawan ini.
Daniel yang saat itu mencintai seorang gadis yang bernama Ann, merasakan patah hati karena ayah Ann tidak menyetujui hubungan mereka. Alasannya hanya karena Daniel adalah orang yang miskin dan beranggapan bahwa Daniel nantinya tidak akan bisa membahagiakan Ann, anak satu-satunya itu. Menjodohkan putrinya dengan anak kaya menjadi satu-satunya pilihan ayah Ann ketika itu. Walaupun Ann tidak mencintai Andy, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti saja perkataan beliau.
Tanpa sepengetahuan Ann dan Andy serta ayah Ann, beberapa tahun berikutnya Daniel menjadi seorang entrepreneurship sukses dan terkenal di seluruh Indonesia. Ia telah merasakan menjadi orang kaya dan tetap tidak sombong dengan keberhasilannya itu. Ia memang sudah memiliki segalanya sekarang, tetapi ada hal yang rasanya kurang dalam diri Daniel. Ia belum mempunyai istri dan anak walaupun sudah berumur hampir 40 tahun. Rasanya ia sangat iri ketika melihat pasangan suami istri yang bergurau dengan anak-anak mereka. Sangat ingin sebenarnya hatinya, tetapi biarlah waktu yang menentukan semua.
“Piaaaarrrrr !!!”, suara kaca pecah mengagetkan Daniel ketika ia sedang melamun di meja kerjanya. Ternyata suara itu adalah suara jatuh dan pecahnya figora yang berisi empat sekawan. Empat anak laki-laki yang sedang bergandengan tangan layaknya sahabat sejati di masa SMP dulu.
“Astaga! Doni, Dani, Deren!”, Daniel terkaget ketika melihat figora itu sudah pecah.
“Foto itu benar-benar mengingatkan ku akan kalian. Bagaimana kabar kalian sekarang ya? Apa mereka sudah mendapatkan mimpi-mimpinya seperti saya ini?”, lanjutnya.
Saat itu pula Daniel teringat akan janji mereka puluhan tahun lalu. Mereka akan bertemu kembali di saat ulang tahun mereka ke 40 tahun yang tepat akan jatuh di tanggal 17 agustus, 1 bulan lagi!

Di jam yang sama, Ann sedang membaca koran di samping suaminya. Ia semapt tidak dapat percaya ketika mengetahui bahwa Daniel telah menjadi orang yang sangat sukses dan terkenal. Berbeda dengan suaminya yang hanya menginginkan uang tanpa bekerja.
“Daniel? Kau sudah menjadi orang kaya sekarang”, kata Ann ketika membaca artikel di koran tentang keadaan dan pekerjaan Daniel saat ini.
“Kamu masih mencintai Ann ya?”, tanya Andy, suami Ann.
“Tidak. Aku sudah tidak mencintainya lagi.”, jawab Ann ragu.
Andy yang masih tidak percaya dengan perkataan istrinya itu bermaksud untuk menemui Daniel ketika ia mengadakan reoni dengan sahabatnya di tanggal 17 Agustus.
Ia benar ketika berpikir Daniel pasti akan bertemu dengan ketiga sahabatnya pada tanggal 17 Agustus. Tetapi Andy salah ketika mengira mereka akan mengadakan reoni di sekolah SMAnya. Malah mereka akan bertemu di sekolah SMPnya yang menjadi tempat pertemuan awal mereka dahulu.

“Hi Daniel! Kau kelihatan lebih berisi sekerang. Pasti kau sudah menjadi apa yang kau inginkan dahulu kan?”, Deren yang pertama kali bertemu Daniel langsung mengajak nya jalan-jalan memutari SMP 1 Negeri.
“Ya, seperti itu lah. Bagaimana dengan mu? Kau sudah menjadi seorang seniman terkenal bukan?”
“Hahaha. Karena kerja keras kita, cita-cita bisa tercapai ya? Oh hampir lupa, bagaimana dengan Doni dan Dani? Apa mereka berhasil meraih cita-citanya?”
Belum sempat Daniel membalas pertanyaan Deren, terlihat beberapa orang yang memanggil nama mereka secara bersamaan. Ternyata itu mereka, Doni dan Dani dengan berlari menghampiri Daniel dan Deren.
“Hi bapak-bapak! Rupa kalian benar-benar berubah.”, kata Doni sambil bernafas berat.
“Jika rupa kita berubah, kenapa kalian mengenali kita? Hahaha”, sahut Daniel cepat.
“Karena kita sudah bersahabat sejak lama dan tidak mungkin melupakan kalian walaupun wajah sudah tidah mirip.”, kata Dani yang sedari tadi masih tidak kuat berbicara karena habis berlari.
Pertemuan mereka pun menjadi sangat ramai dengan membicarakan tentang pekerjaan, anak dan istri mereka. Cita-cita mereka berhasil tercapai dengan Doni menjadi sutradara film di Amerika, Dani sebagai dosen di sebuah universitas paling terkenal di Indonesia, dan Deren bekerja sebagai seniman termahal, serta Daniel yang menjadi seorang entrepreneurship terkenal dan terkaya.
Sungguh sangat menyenangkan sebelum mereka kedatangan seorang tamu yang tidak diundang. Ya, Andy benar-benar datang menemui Daniel di pertemuan itu.
“Hi Daniel. Kau sudah menjadi orang terkaya sakarang ya! Aku ingin memberikan mu hadiah yang pasti tidak pernah kau duga! Hahaha”, kata Andy bersamaan dengan kedatangannya yang masih mengagetkan mereka.
“Apa maksudmu?”, Daniel mulai curiga dengannya.
“Kau belum mempunyai istri kan? Hahaha. Begini, nikahilah istriku dan nafkahi dia!”, jawab Andy lancang serta menerima tamparan keras dari Daniel.
“Sudah-sudah Daniel. dan kau Andy! Pergi dari sini!”, Deren dengan cepat melerai mereka berdua dan mengusirnya.
“Oke! Aku akan pergi dari sini! Tapi ingat, ini kesempatan untuk mu mendapatkan istri! Hahaha.”
Walaupun Andy sudah pergi, tetapi Daniel masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. “Andy memang kurang ajar! Seenaknya dia berkata seperti itu ketika tidak dapat lagi memberikan istrinya uang lagi!”, katanya.
“Dia memang suami tidak bertanggung jawab!”, Dani berkata. “Bagaimana dengan Maya?”, lanjutnya.
“Kenapa dengan Maya?”, kata Daniel tidak mengerti.
“Apa? Kau belum mengerti? Dia mencintai mu sejak SMP dulu Daniel! Cinta nya tulus! Kau harus tahu itu.”, Doni cepat memberi tahu Daniel.

Daniel tetap tidak dapat menghilangkan perkataan Doni dari pikirannya walaupun sudah mengakhiri pertemuan itu dan kembali bekerja. Maya adalah orang yang tidak pernah ada di pikirannya, dan ternyata dia menyimpan perasaan dengan Daniel. Itu sungguh tidak dapat dipercaya. Bagaimana mungkin dan sungguh tidak pernah terpikir oleh nya.
Daniel yang masih merasa bersalah dengan Maya, memutuskan untuk menemuinya. Dia mencari informasi tentang alamat rumah Maya dan berhasil mendapatkannya secara cepat. Tidak membuang waktu terlalu lama, maka Daniel bersama ketiga sahabatnya mendatangi rumah Maya.
Pertemuan yang tidak pernah disangka Maya pun terjadi di rumahnya sendiri. Awal pertemuan mereka menjadi awal bagi Daniel untuk berbicara dengan Maya. Daniel bermaksud untuk bersilaturahmi dengannya dan tanpa disangka, Maya yang masih menyimpan perasaan pada Daniel langsung mengatakan perasaanya itu. Daniel dan sahabat-sahabatnya tidak menyangka itu terjadi. Karena itu pula, hubungan mereka semakin dekat dan lelaki itu mulai dapat membuka hatinya untuk Maya. Tanpa mereka sadari, pernikahan pun cepat terjadi dan menghilangkan status membosankan Daniel dari puluhan tahun lalu.


Sang Murka Peracun Hidup

Entah mengapa bayangan itu selalu muncul saat ku berada di kerumunan banyak orang. Hanya aku sendiri. Potongan-potongan kejadian yang acak tidak beraturan muncul dengan sendirinya. Hanya aku yang merasakannya. Suara orang bagai hilang saat itu juga. Raja yang seram dengan kerajaannya yang juga seram, pengawalnya yang berbadan besar, terbunuh, tersiksa, serta semua hal yang menakutkan lainnya. Apa arti semua itu? Entahlah. Aku hanya ingin terbebas dari semua itu. Menjadi gadis normal seperti yang lain. Bergaul dengan nyaman dan merasakan hidup yang tentram.
Akhir-akhir ini aku sering menyendiri. Orang-orang menanyakan kenapa aku berubah. Menjadi Larissa yang lain. Jauh dari sifat yang riang, suka bergaul, dan humoris itu. Pendiam, penuh dengan kebencian itulah diriku sekarang. Larissa Derlinda. Gadis berumur 16 tahun tanpa kasih sayang. Begitu tidak masuk akalnya untuk diriku, kata mereka. Aku tidak mengerti kenapa aku yang terpilih untuk mengalami hal yang sangat kubenci ini. Siapa yang memilihku ? Aku hanya ingin mati sekarang. Bebas dari mereka semua. Aku benci mereka. Aku Benci.
Potongan gambaran-gambaran itu telah cukup lama hilang. Mungkin karena aku jauh dari kerumunan banyak orang. Orang-orang itu membuatku gila. Gila karena mereka yang membuat potongan gambaran itu muncul. Hingga menjadikanku seperti ini. Sekali lagi aku benci orang-orang di luar sana. Dengan menjadi diriku yang sekarang, aku lebih merasa nyaman. Sedikit berkurang keresahanku selama ini.
Penderitaanku telah datang disambut oleh waktu. Puncak dari penderitaanku muncul ketika hari itu telah datang. Hari dimana aku menempati villa peninggalan orang tuaku kembali. Mereka adalah orang terkaya di dua desa sekaligus. Ayahku telah hilang entah kemana ketika aku masih kecil. Ibuku juga telah meninggal dibunuh sewaktu itu. Pembunuhnya masih belum bisa ditemukan. Aku hanya tahu itu dari penjaga villa ini, Pak Kodi. Beliau tidak pernah menceritakan tentang kematian mereka secara pasti. Dia adalah penjaga villa ini. Dulu, ia menjadi pembantu terbaik keluarga kami. Pak Kodi sangat setia pada kami. Hebatnya, sifatnya itu tidak hilang setelah orangtuaku tidak ada. Aku akan mencoba untuk menempati villa ini kembali. Tidak menambah beban bibiku yang telah merawatku semenjak kedua orang yang kusayangi itu meninggal dunia.
Setelah Pak Kodi membersihkan villa, menata perabotannya, dan memasukkan barang-barangku kedalam kamar baruku, aku merasakan kebahagian. Hidup baru yang lebih tentram telah menanti. Tidak akan pernah sekalipun dihantui oleh potongan-potongan gambaran kecil yang acak tak jelas itu. Aku akan melukis di balkon villa ini, di taman, dan dimana saja sesuka hatiku. Melukis adalah hidupku. Kegemaran yang aku abaikan karena penampakan kejadian-kejadian seram membuatku sibuk. Saat ini, aku akan melupakan masa lalu suramku dan memulai mengisi hari-hari terangku.
Malam makin bergulir, menampakkan kepekatan. Tak ada rembulan atau bintang di langit hitam. Suara burung hantu mulai terdengar seakan bersahutan dengan suara tokek. Aku belum terlelelap sehingga cepat terbangun dari rebahanku begitu mendengar suara pintu kamar diketuk. Beberapa detik aku memasang kuping tajam-tajam. Kembali terdengar suara pintu diketuk.Aku mulai menutupkan mata hendak menguatkan hati dan menghiraukan rasa takutku. Suara ketukan semakin menjadi-jadi. Dengan cepatnya ku bangkit dan membuka pintu kamar. Terlihat sosok besar berwajah bulat sedang berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Sosok laki-laki itu memakai terusan baju putih yang dengan kepala botaknya.
Ketakutanku tidak dapat disembunyikan. Kata-kata yang hendak keluar dari mulut seakan tertelan balik. Ku buka sedikit mulut sebelum lelaki itu membekapnya. Semakin takut dan sangat takut. Aku mencoba melawan , tapi percuma jika lelaki itu berkeinginan kuat untuk membiarkan diriku tetap tenang karena ia mengaku sebagai pengganti Pak Kodi untuk menjaga villa ini selama 2 hari. Tentu saja aku mempercayainya, karena aku juga mendapatkan surat Pak Kodi dari lelaki itu. Surat itu berisi maaf karena harus meninggalkan ‘non’ nya itu tanpa pamitan karena ada urusan mendadak. Aku semakin mengerti jika lelaki yang ada di depannya tidak akan membuatku terluka. Rasa tenang mulai merayapi hatiku.
Dengan tenang lelaki itu mengisyaratkan kepadaku agar mengikutinya. Menurut adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Betapa kagetnya ketika melihat begitu banyak makhluk serupa sedang menunggu kedatangan diriku. Badanku bergetar dan lemas. Tapi lelaki-lelaki itu memantapkan hatiku agar tenang dan tidak takut menghadapi mereka.Mereka memberitahu jika aku adalah persembahan bagi raja iblis. Mereka sudah gila jika mengatakannya. Aku tidak dapat mempercayainya. Tapi mereka tetap membawaku pergi dari villa ini menuju kerajaan iblis di atas langit sana. Pak Kodi telah mereka bunuh setelah membuat surat palsu untukku. Aku memberontak, tapi tetap dalam genggaman mereka. Hanya beberapa detik mereka membawaku, kami sudah berada di kerajaan yang begitu besar.
Raja Iblis, pengawal dan rakyat-rakyat yang semuanya berwajah seperti iblis itu, menyambutku dengan tatapan licik. Tidak menunggu lama, aku dibawa ke sebuah lapangan yang menandakan upacara hari terbesar dalam sejarah mereka dimulai. Aku sebagai persembahan untuk raja hanya bisa pasrah kepada Tuhanku. Raja yang sangat besar itu mengangkatku dengan gampangnya setelah berbagai tarian khas kerajaan itu dipertunjukkan. Kutatap matanya lekat-lekat dengan tatapan yang penuh kebencian. Raja itu tertawa keras sambil diikuti riuh para penonton yang menyaksikkan pertunjukan hebat. Ia membisik dan mengatakan bahwa ayah telah menjadi korban sepertiku dan ibu telah ia bunuh ketika mencoba melawannya untuk membawa ayah ke kerajaan ini.
Aku hanya bisa menangis tak tahu harus berbuat apa. Aku rela untuk dilahapnya jika aku akan bertemu kedua orangtuaku dialam lain nanti. Aku terus berdoa dalam hati dan memberanikan diri menerima takdir. Suara riuh penonton mulai terdengar begitu raja perkasa itu memasukkanku ke dalam mulutnya. Saya, Larissa Derlinda telah hilang ditelan raja iblis termurka yang pernah kutemui.

Rantai Pembunuhan

Aku sudah kehilangan seorang sahabat yang sangat aku cintai. Kematiannya menjadi pertanyaan banyak orang. Hari Jumat pukul 08.23 WIB di jalan dekat sekolahku Dian dibunuh dengan kapak yang tertancap di dadanya. Kejadian itu terjadi setelah dia mengantarku pulang dengan mobilnya. Dari keterangan polisi menyatakan bahwa Dian di bunuh di tempat yang cukup jauh dari mobilnya diparkirkan.
Satu tahun sudah kematian Dian berlalu tapi, semuanya belum juga terungkap. Aku dan Ria serta semua teman-temanku hanya bisa sabar menunggu berita dari polisi. Sesekali kita bersama menyelidiki kasus itu. Tapi tetap tidak ada jawaban atas semua ini. Kita hanya bisa memohon petunjuk kepada Yang Maha Esa.
“Saatnya kamu merubah hidupmu. Jangan hanya sedih. Kamu harus kembali ceria!”, tegas Ria.
“Dian, Ria. Apa aku harus bergembira sementara kematian Dian masih tidak jelas, Ha??”, jawabku sambil menangis.
Sementara aku menangis, Ria mengangkat telepon dari Rama. Entah apa yang mereka bicarakan. Sikap Ria aneh seperti tidak ingin aku mendengarkan percakapan mereka berdua. Dengan sikapnya yang cuek, dia memberi isyarat kepadaku agar mengikutinya. Jaket di sebelah jendela itu ia sambar dan bergerak menuju luar dengan muka cemas. Dalam keadaan seperti ini, Ria tidak menjawab apa yang aku tanyakan tentang sikapnya yang aneh itu. Segera aku mengikutinya dan masuk ke dalam mobil. Ria menstarter mobilnya dan melaju kencang.
“Mau kemana kita??”, tanyaku sambil marah.
“Kita ke sekolah”, jawabnya tegas dan singkat.
“Buat apa? Ini kan hari minggu??”
“Jangan banyak bicara. Nanti juga tau sendiri”
“Ihh……gak tau apa orang sudah bingung kayak gini??”
Ramai sekali jalan itu. Sayup-sayup terdengar suara sirene polisi. Ternyata pusat keramaian itu ada di sekolah. Sekolah itu tersegel. Hampir semua guru ada disitu. Teman-teman berdiri sambil menatap ke arah lantai tiga. Orang tua dari Vita juga ada disitu.
“Ada apa ini??”, Ria hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Segera ia memarkirkan mobilnya. Dan mengajakku keluar mobil.
“Vita, Stell…. Dia disandra.”, kata Ria mengejutkanku.
“Apa???”
Aku dan Ria berlari ke orangtua Vita. Ibunya menangis terisak. Kami bertanya kepada Rama yang kebetulan ada di sebelah kami. Dia mengatakan bahwa Vita disandra. Kapan saja dia bisa dibunuh. Aku langsung menangis mendengarnya. Dian sudah meninggalkanku. Dia mati mengenaskan di malam aku bersenang-senang dengannya. Dan sekarang polisi sedang menyelamatkan nyawa Vita yang 1 inchi mendekati kematian.
Aku berusaha untuk menyelamatkannya. Tapi semua orang melarangku melakukan itu. Aku bisa ikut mati. Tapi apa gunanya sahabat jika diam saja menunggu takdir yang terjadi kepadanya. Takdir hanya bisa dirubah oleh diri kita sendiri kan??? Dan sekarang aku ingin Vita selamat. Satu-satunya cara hanya dengan menolongnya.
Polisi mencoba untuk memasuki sekolah untuk menyelamatkan Vita. Sementara itu di luar, lampu menyorot kearah lantai tiga tepatnya di perpustakaan. Satu jam sudah polisi mencoba memasuki sekolah, tetapi tidak ada kabar dari polisi yang memasuki sekolah itu. Dari bawah sini, aku bisa melihat ada bayangan orang di dalam perpustakaan. Apa mungkin itu orang yang menyandra Vita? HP ku berdering. Ini nomer dari HP nya Vita. Jangan-jangan ini penyandra itu. Aku memberitahu kejadian itu kepada Ria dan Rama sementara HP ku masih berdering. Rama berinisiatif memberitahu polisi. Maka aku berlari menuju polisi terdekat dari kami. Aku memberitahu semuanya dan ia memerintahkanku untuk mengangkatnya saja. Maka aku mengangkatnya dengan tangan bergetar.
“Vita akan saya bunuh jika polisi coba-coba masuk ke dalam sekolah ini”, suara orang lelaki itu membuatku lemas dan takut.
“Si….siapa ini?”
“Siapa saya tidak perlu. Nyawa sahabatmu ada ditangaku.”
Suara lelaki itu seketika hilang berganti dengan suara tangis Vita.
“Vita….”
“Stellllaaaa…..tolong aku…..aku bisa matii disini……aku gak mau mati dulu….tolong…..”, kata Vita sambil menangis.
Seketika itu sambungan terputus. Aku memberitahu polisi jika polisi memasuki sekolah, Vita akan terbunuh.
“Minggir….minggir…..”
Keributan pun seketika terjadi. Penyandra itu melarikan diri melalui ruang bawah tanah. Setauku di sekolah ini tidak ada ruang bawah tanah. Tapi, menurut informasi dari polisi seperti itu. Siapakah dalang dari semua ini??? Aku bertanya-tanya di dalam hatiku.
“Sebaiknya Anda pulang saja, kami akan menyelamatkan korban sekuat tenaga kami.”, kata polisi itu meyakinkanku.
“Terima kasih pak, kami pulang sekarang”, kata Rama sambil melirikku.
Aku meninggalkan lokasi itu dengan muka sayup. Kami melangkah semakin jauh, dan jauh. Waktu pun membuat kami semakin cepat untuk meninggalkan sekolah. Berat langkahku memasuki mobil. Tapi aku harus meninggalkan sekolah ini, karena posisi sedang dalam keadaan bahaya.
Rama yang mengantarkan kami pulang. Dia memang sahabat yang paling baik. Pukul sepuluh malam kami sampai di rumah. Rama pulang dengan motornya. Aku langsung berlari ke kamar dan membanting tubuhku di atas kasur. Air mata mengalir seketika. Membasahi pipiku. Lekasku hapus air mata ketika Ria memasuki kamarku. Menyesal ku telah bertengkar dengan Vita saat itu. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
Tidak lama kemudian, Ria mendapatkan telepon dari Rama. Menyedihkan sekali mendengarnya. Sampai-sampai aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ria. Sekolah itu meledak. Dan, Vita sekarang tubuhnya sudah hancur. Dan ternyata penyandra itu kabur karena sudah melilitkan bom di tubuh Vita. Buru-buru aku menyetir mobil menuju ke rumah sakit.
Begitu sampai di rumah sakit aku.Ria, dan Rama menuju ke kamar mayat.Dokter melarangku melihat kondisinya, karena mukanya sudah hancur dan tidak mirip dengan aslinya. Tapi keinginanku untuk melihat jasadnya membuat dokter menyetujuinya.
Aku pun masuk kedalam kamar mayat setelah dokter menyetujuinya.Penjaga kamar mayat mengantar kami masuk ke kamar mayat untuk melihat jasad Vita.
Kuterjatuh melihat jasadnya. Mukanya seperti tidak ada rupa. Buram dan hitam. Aku pun tak sadarkan diri ketika itu. Ketika itu, aku bermimpi ada seorang yang membawa pisau kearahku dan akan membunuhku. Aku langsung terbangun. Banyak orang yang aku lihat ketika ku membuka mata. Mama, Papa, Ria, Rama, dan ibu Vita.
“Sayang, kamu tidak apa-apa kan?”, mamaku yang pertama kali berbicara padaku.
“Eng…enggak….”, kataku terbata-bata.
Aku pun menangis teringat dua sahabatku yang telah meninggalkanku. Aku seperti tidak ada semangat lagi. Aku takut menjadi korban selanjutnya. Tapi aku masih punya sahabat, teman, dan orang tua. Bagaimana pun juga, aku harus merelakan kepergian Dian dan Vita.
“Setelah Vita dimakamkan, kita mungkin perlu ziarah ke kuburan Dian.”, suara Ria memecahkan kesunyian.
“Aku setuju”, jawab Rama
“Bagaimana dengan kamu Stell?”, Tanya Ria kepadaku.
“Aku ikut”, jawabku singkat tapi pasti.
Vita dimakamkan di pemakaman yang tidak jauh dari rumahnya. Aku bersama teman-teman berangkat pukul 12.00 siang. Banyak orang yang memenuhi makam itu. Isak tangis membanjiri upacara pemakaman Vita. Orangtua Dian juga datang. Serta semua guru-guru dari sekolah kami, SMA Brackenhurst.
Tidak lama kemudian upacara pemakaman itu selesai. Kami bersama orang tua Dian ziarah ke makam Dian. Sebelum menuju ke tempat, kami membeli tiga tangkai bunga yang paling disukai oleh Dian. Menurut ibu Dian bunga yang paling disukai Dian adalah bunga Mawar.
Sementara kami tidak dapat kembali ke sekolah itu. Karena SMA Brackenhurst harus direnofasi terlebih dahulu. Selama 2 bulan ini, kami belajar di sekolah di SMA Greymarsh Towers. Kami tetap diajar oleh guru kami. Jam itu, kami mendapatkan pelajaran Matematika dari Mr Fowler. Pelajaran berjalan dengan lancar. Aku, Rama, dan Ria berencana untuk mencoba menyelidiki dan menemukan penyandra itu.
Sepulang sekolah, kami pergi ke sekolah. Kondisi sekolah itu hancur. Kami memasuki ruang perpustakaan tempat penyandraan Vita dua hari yang lalu. Aku bisa menemukan tulisan tangan Vita di salah satu buku di atas meja. Tulisan itu adalah tulisan Vita yang ditulis secara kasar. Aku membaca tulisan itu. Agak sedikit kesulitan aku membacanya. Maka aku meminta bantuan kepada Ria dan Rama. Rama terlihat serius dan tiba-tiba ia tersentak kaget.
“Mr Fowler”, nama itu keluar dari mulut Rama.
“Ada apa?”, tanya Ria.
“Disini tertulis bahwa Mr Fowler yang menyandra Vita. Disini juga ada tanda tangan Vita. Aku hafal betul tanda tangannya dan juga tulisannya.”, kepastian Rama.
Aku mengeluarkan buku catatanku yang ketika itu ditulis oleh Vita. Aku mencocokkannya. Dan ternyata benar apa yang dikatakan Rama. Tulisan di buku itu sama persis dengan tulisan Vita di buku catatanku.
“ini benar-benar bukti yang kuat. Tapi apa betul Mr Fowler pelakunya. Kita harus menyerahkan bukti ini ke polisi”, kataku senang telah memecahkan misteri ini.
“Jangan buang waktu, kita harus ke kantor polisi sekarang”
Setelah sampai di kantor polisi, aku langsung memberikan barang bukti itu. Polisi segera menyelidiknya. Kami lega karena polisi sudah mengetahui pembunuhnya. Misteri itu telah terpecahkan. Vita meninggal karena Mr Fowler. Tapi apakah dia juga pembunuh Dian??
Polisi telah menyelidikinya. Kami bisa lebih tenang sekarang. Setidaknya, sudah ada jawaban atas pertanyaan kami selama ini. Tidak lama kemudian polisi sudah menangkap Mr Fowler dan akan disidang. Penyidangan itu dilaksanakan seminggu kemudian.
Pagi itu kami hanya mengantarkan orang tua Vita menuju pengadilan. Tapi hatiku tidak ingin meninggalkan tempat itu. Aku ingin menunggu hingga penyidangan itu selesai. Rama dan Ria menyetujuinya. Dan kami menunggu penyidangan itu dengan berbincang-bincang menebak apa yang terjadi di dalam. Satu jam telah berlalu. Semua orang keluar dari ruang sidang. Kecuali pengacara dari keluarga Vita dan pengacara dari Mr Fowler.
Orang tua Vita menceritakan semua yang terjadi di dalam. Dan kita sekarang hanya bisa menunggu kepastian. Pengacara dari keluarga Vita keluar dengan wajah lesu. Aku takut ia akan berbicara bahwa kita kalah.
“Kita menang”, kata pengacara itu berteriak.
“Wowww”
Terbukti semua itu. Dalang dari semua ini adalah Mr Fowles. Pengakuan itu seperti sangat gampang dikatakannya. Mr Fowles bukanlah guru yang sebenarnya. Ia adalah penjahat yang selama ini telah dendam kepada dua murid dari SMA Brackenhurst. Ia mengaku telah membunuh Dian dan Vita. Mereka berdua telah menyakiti hati Mr Fowles dengan dipermalukan di kelas. Mr Fowles telah dihukum penjara selama 20 tahun.